Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Rabu (15/1/2020), menjelaskan sejak Maret 2015 hingga September 2019 nilai gini ratio Indonesia terus menurun.
“Kondisi itu menunjukkan terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia,” katanya.
Suhariyanto menjelaskan angka tersebut menurun 0,002 poin jika dibandingkan pada Maret 2019 yang mencapai 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan September 2018 yang sebesar 0,384.
Baca Juga:
Ekonomi Keluarga Terdampak Pandemi, Jadi Tantangan Berat Kaum Ibu
Resesi Ekonomi, Akhirnya Petaka yang Ditakutkan Jadi Kenyataan
Pelemahan Ekonomi, Pemerintah Perlu Dorong Pemulihan Daya Beli
Gini ratio di perkotaan mencapai 0,391 atau masih sama dibandingkan September 2018 mencapai 0,391.
Sedangkan gini ratio di perdesaan mencapai 0,315 atau turun dibandingkan September 2018 mencapai 0,319.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS menyebutkan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan periode Maret-September 2019 penduduk kelompok 40 persen terbawah, 40 persen menengah, meningkat sedikit lebih cepat dibandingkan penduduk kelompok 20 persen ke atas.
Tercatat kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita Maret-September 2019 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah dan 20 persen ke atas berturut-turut sebesar 3,53 persen, 3,82 persen dan 3,19 persen.
Baca Juga:
Indonesia Resmi Resesi, Pemulihan Ekonomi Harus Dipercepat
Gawat, pada September, Kunjungan Turis ke RI anjlok 88,95 Persen
DPR Dorong Pemerintah Percepat Pemulihan Daya Beli Masyarakat
Jika dicermati per provinsi, rasio gini tertinggi adalah di Yogyakarta sebesar 0,428 dan terendah di Bangka Belitung sebesar 0,262.
Menurut BPS, bila gini ratio menyentuh angka nol maka ketimpangan pendapatan merata dengan sempurna, artinya setiap orang menerima pendapatan yang sama dengan yang lain.
Sedangkan jika gini ratio sama dengan angka satu, maka ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja. (dks)