BISNISPOST.COM – Memang transisi energi (TE) ini tidak cocok dengan mekanisme bank  komvensional.

Mobilisasi dana masyarajat menawarkan bunga, lalu investasi di iklim. Ini jatuhnya akan mahal.

Selain itu bank itu bersifat tertutup, dan bamgkers itu ekslusive, untuk diri sendiri.

Transisi energi Ini memang harus dijalankan oleh lembaga investasi milik negara.

Disuntik dengan APBN dan harus disertai dengan kemampuan mencari sumber pendanaan iklim yang tepat.

Sehingga Sri Mulyani tawarkan PT. SMI, dan itu dibolehkan, tetapi ketahuan bahwa SMI ini bancakan oligarki, maka disertakan persyaratan lain.

Inclusive dengan peta jalan penutupan pembangkit batubara secara konsisten, serta tidak ada biodisel sawit  dalam hal ini. Karena sawit itu merusak lingkungan.

Selain itu SMI telah terindikasi berhubungan dengan dana dana kotor yang tidak transparan yakni seperti SWF, soft bank, tax amnesty.

Yang terindikasi menjadi tempat buang hajat para bandit keuangan yang basisnya eksploitasi energi kotor terutama batubara.

Makanya di G20 sendiri dalam memuluskan jalannya transisi energi mereka mempersyaratkan digitalisasi.

Yang tujuannya adalah transparansi keuangan, tidak ada aliran uang dari sumber sumber kotor untuk pembiayaan iklim.

Kalau transparan dan terbuka nanti procurementnya akan dimakan oleh asing barang impor dan seterusnya. Memang itu masalah dari dulu.

Tapi harus tau bahwa tiga  agenda G20 kemarin adalah isue yang mendapat pengecualian dari seluruh perjanjian internasional yang binding dibawah WTO.

Dengan demikian maka negara dapat mengembangkan local content untuk penanganan covid, digitalisasi dan transisi energi.

Pembatasan oleh negara terkait tiga isue tersebut negara dapat memberlakukan negatif list, membatasi konten inpor, dan menjalankan subsidi, semuanya tidak dapat digugat ke WTO.

Semua alasan sudah di tetapkan yakni keselamatan umat manusia, bukan kepentingan sempit negara masing masing.

Oleh: Salamuddin Daeng, Peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia). ***